4/19/2016

Meet & Greet - Book Talk "Jangan Pernah Menyerah"

"Dan aku pun mulai melepaskan segala perasaan di dalam dada. Tidak lagi memaksakaan tapi lebih mencoba untuk memasrahkan.
Sejak saat itu langit senja tak lagi sama. Kaupun tak lagi kembali dan akupun tak lagi mencari. Walaupun aku tau, semua kabut sendu itu telah berganti menjadi rindu. Namun, apa dayaku?
Semoga semua doaku akan menjelma menjadi bahagiamu."
-Aldila Dharma-

Udah 10 hari semenjak Meet & Greet – Book Talk “Jangan Pernah Menyerah” bareng Aldila Dharma, udah lama ya? Tapi masih belum bisa move on sama pesen-pesennya yang super duper mengubah pola pikir. Rugi banget deh kalo nggak ikutan ^^
Jadi, acara yang diselenggarakan di Gramedia Surakarta pada hari Sabtu, 9 April 2016 ini merupakan salah satu bagian dari roadshow buku “Jangan Mudah Menyerah”.  Aldilla yang merupakan pemilik akun instagram @beraniberhijrah mulai mendedikasikan hidupnya untuk bermanfaat bagi umat di jalan Islam. Salah satu caranya dengan menulis buku tersebut.
Jujur aja, waktu dateng ke acara itu, aku sendiri belum pernah baca bukunya, hehe. Tapi setelah tau isinya, errr. Keren, super duper keren. Sesuai dengan tujuan awalnya penulis, sepertinya buku ini emang bener-bener bisa tersampaikan kepada umat dengan segala jenis permasalahannya. Nggak heran kalau ini buku bisa masuk Top 10 Books di Gramedia khususnya Surakarta. Banyak banget hal berkesan yang didapetin dari book talk ini, beberapa diantaranya bakal aku ulas di sini.

Cinta adalah…
          Kalau disuruh mendefinisikan apa itu cinta, setiap orang pasti memiliki jawaban yang berbeda-beda. Tapi dapat kita simpulkan bahwa cinta itu mengikhlaskan orang lain untuk bahagia. Sehingga apapun akan kita lakukan untuk membuat orang lain tersebut bahagia.
            Salah satu jalan seseorang mencapai kebahagiaan adalah terjaganya dari dosa. Jadi, kalau cinta itu menimbulkan dosa maka belum bisa disebut cinta. Karena kita belum bisa membutnya bahagia secara hakiki. Buat apa rindu sama seseorng lalu dicurahkan dengan  “Aku kangen kamu.” Kalu hanya akan menjerumuskan dalam dosa? Lebih baik tercurahkan dalam doa. Aku mencintaimu maka kau akan kujaga baik akhlak, hati, dan kebahagiaanmu kelak J

Jangan Merasa Memiliki
            Kebanyakan dari kita terlalu mencintai apa yang sudah kita dapatkan. Bahkan jemari tanganmu pun bukan milikmu. Segalnya milik Sang Pencipta. Mana bisa seseorng merasa memiliki orang lain padahal dirinya sendiri aja pada dasarnya bukan miliknya sendiri?
 Dan coba pikirin baik-baik. Kalau aja Allah itu cuma Tuhannya orang Islam, lalu mengapa umat non-muslim tetap bisa bernafas, dan merasakan nikmat-nikmat hidup lainnya? Subhanallah. Maka dari itu Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.

Piano Kehidupan
Hidup nggak akan berasa kalo belum dicampur-campur rasanya kayak nano-nano. Kadang kita merasa tenang dengan hidup kita yang berjalna lancar. Sering juga kita merasa resah dengan apa yang belum kita dapatkan. Apalagi ketika ujian demi ujian menimpa.  
Seperti piano yang memiliki tuts putih dan hitam. Tidak mungkin piano itu bisa menghasilkan suara yang indah hanya dengan tuts putih saja. Begitulah hidup. Tidak sempurna bila yang datang hanya kebaikan. Maka dari itu hitam putih kehidupan akan selalu berdampingan untuk menciptakan irama-irama hidup yang indah.

Berhijrahlah!
Percuma ketika seseorang mengenyam pendidikan setinggi apapun dan se-favorit apapun sekolahnya, kalau ia nggak bisa bermanfaat bagi orang lain. Perlu diingat bermanfaat bagi orang lain nggak perlu nunggu diri sendiri sempurna. Segeralah berhijrah dan mantapkan langkahmu menuju kebaikan umat J

Masih banyak inspirasi lainnya, tapi kurang lebih itu sudah mewakili banyak hal. Perlahan hal-hal itu dapat meluruskan prosesku untuk menjadi pribadi lebih baik dan memacu untuk terus bermanfaat bagi umat. Semoga kalian juga ya! ^^

9/30/2015

Organisasi, kenapa enggak?

            Masa remaja adalah masa yang tepat untuk mengembangkan bakat dan minat seseorang. Tak terkecuali organisasi. Wadah di mana seorang remaja bisa mengembangkan jiwa leadership, menambah wawasan & teman, belajar manajemen waktu, dan banyak manfaat lainnya.
            
            Ada satu pengalaman yang baru saja saya alami, di mana saya ingin sekali ikut sebuah organisasi, tetapi banyak mulut-mulut yang ”menghalangi” (dengan tujuan baik). Padahal organisasi tersebut dapat menambah ilmu dan sangat bermanfaat. Rata-rata teman saya bilang “Eh itu sibuk banget lho. Kamu nggak akan bisa ngatur waktu.” atau “Yakin mau ikutan? Pelajaranmu gimana?”. Nah, dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi di sini adalah masalah manajemen waktu dan pelajaran.
           
            Pertama, masalah manajemen waktu. Menurut saya, orang yang dicari untuk sebuah organisasi bukan orang yang sudah pasti  bisa memanajemen waktunya. Karena pada dasarnya saat sudah masuk ke suatu organisasi justru saat itulah kita dimulai untuk belajar me-manage waktu dengan benar. Semakin hari kita akan terus melatih diri kita sendiri tanpa kita sadari. Maka nikmatilah setiap proses dalam hidupmu, karena sesungguhnya banyak sekali pelajaran yang kita ambil setiap harinya.
            
            Kedua, pelajaran. Belajar adalah tugas utama seorang pelajar. Dalam konteks ini, ‘belajar’ yang dimaksud bukan hanya pelajaran formal. Dengan organisasi kita juga banyak belajar untuk masa depan. Singkatnya, pelajaran formal adalah materi yang akan diterapkan (dalam suatu pekerjaan) sedangkan organisasi adalah bagian yang menunjang materi tersebut. Meskipun organisasi hanya menunjang, keduanya tidak bisa berat sebelah, keseimbangan sangat diperlukan. Nah, saat kita berkumpul dalam organisasi dan mendapat banyak kawan, otomatis langkah kita untuk mencari materi tentang pelajaran formal lebih luas. Kita bisa saling sharing dan tukar penjelasan. Jadi sebetulnya pelajaran tidak sepenuhnya menghalangi untuk berorganisasi. Tergantung kemampuan masing-masing pribadi.
           
            Buat kalian yang masih ‘takut sibuk’, sibuk kok ditakutin? Hehe. Inget ya, dunia ini luas banget, masih banyak yang harus kita jelajahi. Jangan sampai jadi pemuda yang terlalu serius dan muluk-muluk dengan pelajaran. Nikmati masa muda kamu sebaik mungkin. Masa depanmu adalah hasil dari perjuanganmu sekarang. Dan inget, masa depan kita (kita?) kelak akan banyak rintangan global. Siapin wawasan dan pengalamanmu sejak sekarang, salah satunya dengan organisasi ini. Tetap semangaat!

7/11/2014

Sebuah Penyesuaian

Kelas Sembilan. Yang pertama kali kau pikirkan adalah UN. Entahlah, sejauh ini aku belum memikirkan 2 kata itu. Agak kelihatan nggak bertanggung jawab. Tapi aku punya kesamaan dengan teman-teman lain jika berbiicara tentang kelas Sembilan. Adalah kedewasaan. Sebagian dari kalian dengan mudahnya menemui kedewasaan sekalipun kau anggap sulit. Ya aku berharap sama.

Ah, kelas Sembilan. Jika kelas yang kau tempati saja sudah tidak mengenakkan (baik bagi siswa tertentu maupun guru) bagaimana proses belajar-mengajar akan terjadi sesuai dengan yang kita semua terlebih yang orang tua harapkan. Setiap insan selama mereka mampu berlogika, beraqidah dengan baik, dan menggunakan perasaannya pasti tidak akan mau berkumpul dengan orang-orang yang tidak sejalan atau tidak memiliki salah satu dari 3 sifat tadi. Berlogika, beraqidah, dan berperasaan. Namun bagaimana jika engkau dituntut untuk bersama mereka?

Sebuah kalimat berbunyi, “Bukan kata kau dimana berada ataupun bersama siapa, karena hatimu yang lunak, jiwamu yang baik, pasti masih tersisa.”

Jika dipikir ulang, dizaman yang telah berubah seperti saat ini, kalimat tersebut tidak menutupi kemungkinan untuk tidak tercipta. Tapi hal itulah yang harus kupegang untuk saat ini. Entah sampai kapan usainya.

Berkumpul denganmu hendaknya menghadirkan kebahagiaann, ketenangan. Karena mestinya, kesengsaraan tidak dating ketika kita berkumpul, ketika kita berukhuwah dengan sesama muslim.

Ya Allah, yakinkan aku dengan apa yang telah kutulis dan kuucapkan.
Bismillaahirrahmaanirrahiim:)

5/11/2014

Sepatah Kata Perpisahan

Sebuah puisi yang bermula dari tugas sekolah :)

Sepatah Kata Perpisahan


Kata waktu kita kan berpisah
Pada kenangan aku berkata pasrah
Kumpulan emosi kenankan aku marah
Mana rela kutinggalkan masa-masa indah

Kelak aku akan menjadi sesuatu
Yang tak terkira oleh waktu
Namun setahun kenangan itu
Tetap kujaga dalam kalbu

Jika boleh kuhancurkan dinding waktu
Menjelajah masa lalu sesukaku
Ijinkan aku berkata sepatah saja
Untuk kalian penghias masa

Tapi, masihkan ada kesempatan kedua?

CERNAK: "Gajah" Itu Sahabat Kami!

CERNAK

                                                “Gajah” Itu Sahabat Kami!
Oleh: Safina Arin Nabila

Namanya Diva Nur Saputri. Panggil saja Diva. Siswa merah-putih asal SDN 05 Malang ini memiliki wajah yang cantik, dia juga ramah. Badannya gemuk sekali, namun dia tetap PD dengan pemberian Allah itu. Dikelasnya dia tidak pernah keluar dari jajaran 5 besar, itu sebabnya ia selalu menjadi kebanggaan keluarga terutama Papa. Papa sangat sayang kepada Diva, bahkan kadang membuat Kak Dina iri juga dengan Diva.
            Dia punya 2 kakak dan merupakan anak terakhir. Kakaknya yang pertama biasa dipanggil Kak Dera. Kak Dera senang sekali mendengarkan musik terutama musik barat. Sekarang dia bersekolah di salah satu SMA favorit di Malang.
Begitu pula dengan Kak Dina yang menduduki bangku SMP. Kalau Kak Dera senang mendengarkan musik, beda lagi dengan Kak Dina. Dia suka dengan apapun yang berhubungan dengan doraemon. Ralat. Bukan hanya suka. Bahkan super duper tripel suka dengan doraemon. Mulai dari pintu kamarnya yang penuh dengan stiker doraemon, buku, tas, baju, komik dan masih banyak lagi. Bahkan Kak Dina tidak akan pernah mau tidur apabila bedcover kamarnya bukan doraemon. Sulit dipercaya bukan?
            Ada yang unik dari keluarga Diva. Setiap anggota keluarga memiliki nama berawalan huruf D. Diva suka sekali menyanyi.  Ia ingin sekali menjadi penyanyi seperti Fatin Shidqia, idolanya. Dia mengikuti les bernyanyi di Simphony School Of Music.
Namun, akhir-akhir ini Diva jarang mengikuti les karena setiap 2 minggu sekali ia harus pergi ke dokter untuk kontrol kesehatannya. Ia tak tahu pasti apa yang dideritanya. Namun perutnya sering sekali nyeri dan kata dokter harus rajin kontrol jika tidak akan menimbulkan sesuatu yang fatal. Papa tidak pernah memberitahunya tentang kejadian ini. Namun, Diva juga tak begitu ingin tahu dengan apa yang dideritanya. Mungkin karena Papa yang selalu mengalihkan pembicaraan ketika Diva menanyakan tentang hal itu.
 Sebetulnya, Diva tidak suka berada di Malang seperti tempat tinggalnya sekarang. Dia lebih suka berada di Jogja, tempat kelahirannya. Di Jogja dia lebih leluasa dalam berteman. Tidak seperti di Malang. Susah mencai teman disini. Ya mungkin karena beda daerah yang membuat teman-temannya enggan untuk bergaul dengan Diva. Diva pindah ke malang semenjak umur 9 tahun. Ketika itu nasib berkata lain…

            Sore itu hujan turun sangat deras. Entah mengapa firasat Diva sangat tidak enak. Dia ingin sekali liburan ini dibatalkan saja. Ingin sekali. Tapi Diva tidak pernah berani untuk bicara kepada Papa atas perasaaannya ini. Ia takut Papa akan kecewa atau malah memarahi Diva karena imajinasinya yang terlalu tinggi.
            Waktu itu Papa menyetir mobil dan Mama duduk di sebelahnya. Diva duduk di tengah bersama Kak Dina. Sedangkan Kak Dera tiduran di belakang mobil. Jalanan waktu itu sangat macet. Suara klakson mobil terdengar dari mana saja. Jalan juga sangat licin. Membuat perasaan Diva semakin tak menentu. Perasaan bimbang masih menyelimuti hatinya seakan dingin sekali. Kak Dina sedang membaca komik doraemonnya. Tidak mungkin Diva akan menceritakan kegalauannya ketika Kak Dina jika sedang membaca komik. Apalagi doraemon. Bisa-bisa Diva malah kena omelan.
            Kini mata Diva mulai berair. Ia ingin sekali menangis. Ia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya. Namun nyalinya juga tidak bertambah. Justru Diva semakin takut ketika ia memberanikan diri untuk bicara. Suaranya tercekat ketika kurang satu langkah untuk bercerita pada Papa.
            “Diva kok nangis? Kenapa sayang?” Mama tiba-tiba menoleh kebelakang. Diva tak tau harus menjawab apa.
            “Pe..Perasaan Diva nggak enak Ma.” Jawab Diva terbata-bata.
            “Sudahlah tidak apa-apa, sayang. Mungkin perjalanan jauh yang membuatmu berfikir aneh-aneh.”  Diva sudah menebak. Pasti itu jawaban Mama. Setidaknya Mama sudah tau apa yang dirasakannya, itu sudah cukup membuatnya tenang.
            Tiba-tiba ada suara benturan keras sekali. Ada jeritan suara yang familiar juga ditelinga Diva. Banyak sekali orang. Diva bingung harus berbuat apa. Apa yang dilihatnya sangat suram. Terakhir kali dia melihat wanita dengan kerudung biru tua yang serasi dengan baju yang dikenakannya. Namun, ada cairan merah banyak sekali sampai warna biru bajunya hampir tak kelihatan.

            “Hei! Kok ngelamun sih? Nggak baik lho.” Tiba-tiba Papa dating membuyarkan lamunan Diva. Entah dari mana datangnya Papa yang jelas telah membuat Diva sangat terkejut.     
            “Di..diva keinget almarhumah Mama lagi Pa. Kalo sekarang Mama masih ada mesti Diva nggak sesepi sekarang..”
            “Kamu nggak pengen sarapan dulu? Ada soup brokoli kesukaanmu tuh.” kata Papa. Diva tau maksud Papa untuk mengalihkan pembicaraan ini seakan mengode ‘sudah - jangan - pikirkan - itu - lagi’
            “Enggak pa, udah jam setengah 7 nih. Diva berangkat dulu ya Pa. Assalamualaikum.” Jawab Diva terburu-buru.
            Diva segera mengeluarkan sepeda dan meluncur ke sekolah dengan sangat cepat. Jarak dari rumah ke sekolahnya 2KM. kira-kira hanya 10 menit dari rumah. Meski begitu, Diva sering sekali terlambat. Entah itu karena terlalu asyik bernyanyi di kamar mandi, kesiangan, atau karena lupa mengerjakan PR waktu malam hari.
           
“Halo Marsya!” ucapku sedikit keras untuk mengagetkan Marsya, teman sebangkuku. Disekolahnya yang sekarang Diva hanya dekat dengan Marsya. Setiap ia dekat dengan orang lain, pasti ada saja yang menyakiti hatinya.
 “Hei. Udah jam berapa nih? Telat mulu,” gerutu Marsya.
“Haha, kaya nggak ngerti aku aja.” Marsya selalu menanyakan itu di setiap pagi. Sangat amat membosankan memang. Meskipun lugu, marsya sebenarnya memiliki ide-ide yang tak pernah kau duga. Dia suka sekali menggambar tiap apa yang dilihatnya. Marsya juga senang sekali membuat puisi. Sering sekali puisi-puisinya dipajang di mading sekolah. Tak jarang juga dimuat dalam Koran.
Pelajaran pertama IPA. Diva suka sekali dengan pelajaran IPA. Hampir setiap ulangannya mendapatkan nilai diatas 90.
“Selamat Pagi anak-anak. Siapkan selembar kertas ulangan. Hari ini akan Ibu adakan ulangan dadakan untuk menguji kepahaman kalian mengenai materi minggu kemarin.”
“Yaah Bu, kan 2 minggu yang lalu sudah ulangan. Masa’ mau ulangan lagi?” kata Stefan dengan berani. Dia murid paling ceroboh di kelas 5. Dalam satu hari dia bisa berulah lebih dari 2 kali. Orang tuanya ada hubungan kerja dengan Papa Diva. Jadi Diva cukup tau tentang diri Stefan.
“Tidak apa-apa, Stefan. Kalau kemarin kamu memperhatikan Ibu yakin pasti bisa.” Jawab Bu Imah dengan gayanya yang lemah lembut. 
           
                                                                        ***

 Kriing Kriing
            Semua siswa bersorakan keluar kelas begitu mendengar bel tanda mengakhiri pelajaran berbunyi. Pelajaran sebelum pulang adalah matematika. Hampir satu kelas benci dengan matematika. Maka dari itu setiap pelajaran matematika berakhir rasanya seperti ketika penjajah telah keluar dari Indonesia. Merdeka banget rasanya.
            “Kamu mau langsung pulang?” Tanya Marsya ketika sampai di depan pagar sekolah. Rumah Marsya cukup jauh dari sekolah. Maka dari itu dia tidak pernah naik sepeda ke sekolah. Walau sebenarnya ingin sekali bisa berangkat sekolah dengan naik sepeda, namun tentu saja tidak akan pernah dibolehkan kedua orang tuanya.
            “Iya, emangnya kenapa?”
            “Hari ini Mamaku jemput rada telat. Ada pesanan banyak katanya” Jawab Marsya dengan nada tak bersemangat. Mamanya memiliki usaha catering di rumah.
            “Ya udah aku tungguin, tapi ada syaratnya”
            “Apapun Marsya lakukan untuk Diva yang cantik”
            “Haha bisa aja kamu. Eemm, kamu harus menjadi sahabatku selamanya. Janji?”
            “Kalo itu sih gampaang, janji!” kelingking Marsya dan Diva saling berpeluk pertanda janji mereka tak akan dusta.
            “Heii awaaaass!” tiba-tiba ada suara teriakan orang dari belakang mereka. Sontak Diva dan Marsya langsung menepi agar tidak tertabrak orang yang ada di belakangnya.
 Tidak usah berpikir lama-lama Diva dan Marsya sudah tau bahwa itu pasti Naomi. Satu-satunya anak blasteran Indonesia-Jepang di sekolah. Naomi cantik sekali. Matanya tidak terlalu sipit, kulitnya putih bersih, rambutnya bergelombang hitam kecoklatan. Ditangannya ada gelang warna coklat yang tergantung huruf N warna putih yang tentu saja artinya Naomi. Banyak guru disini yang mengatakan kalau Naomi mirip dengan Barbie. Tapi tidak diragukan lagi, dia memang betul-betul mirip Barbie. Lucu sekali.
            “Hei Marsya! Tolong bilang pada temanmu itu, kalau bicara jangan ditengah jalan dong! Nggak sadar diri ya badannya segede apa?” ejek Naomi kepada Diva. Diva sudah terbiasa dengan ejekan dari Naomi. Diva juga tak pernah membalas perbuatan Naomi. Kata Papa, orang seperti itu tidak perlu ditanggapi namun dijadikan motivasi saja.
            “Eh kamu Naomi! Jangan seenaknya ngejek Diva ya! Lagian lewat samping kan juga bisa, nggak perlu ngusir kita juga kali!” bela Marsya dengan nada tinggi.
            “Sudah Marsya. Aku tidak apa-apa kok.” Ucap Diva menenangkan sahabatnya.
            “Lain kali jaga gajahmu baik-baik yaa. Dadaah” kata Naomi langsung meninggalkan tempatnya.
            “Dasar tidak tau sopan santun.” Keluh Marsya.
            “Biarlah perbuatannya ditanggung sendiri dihadapan Allah kelak. Kita cukup bersabar saja Marsya.” Kata Diva sembari tersenyum.
            “Hmm, kamu baik banget sih, terlalu baik malah. Nggak salah deh punya sahabat kaya gajah cantikku ini.” Mereka berdua tergelak. Marsya mulai menyebalkan.
            “Haha lama-lama kamu ketularan Naomi juga ya.” 
            “Haha bercanda kok.” Jawab Marsya dengan menunjukkan dua jarinya.

                                                                        ***
           
“Assalamualaikum, Pa.” sapaku kepada Papa setelah sampai di rumah.
“Waalaikumsalam. Kamu kemana aja kok baru pulang? Hari ini kan kamu harus kontrol ke dokter.”
“Astagfirullah. Maaf pa, Diva lupa. Tadi nungguin Marsya dijemput dulu kasian soalnya kalau disuruh nunggu sendirian.” Jawab Diva dengan nada merasa bersalah.
“Ya sudah, cepat ganti baju dan makan siang dulu. Papa tunggu di ruang tamu ya.”
“Siap komandan!” kataku sambil sikap hormat ala polisi.

            Perjalanan ke dokter kali ini membosankan sekali. Biasanya setiap kontrol Kak Dina juga menemani namun kali ini tidak bisa karena ada study tour di sekolahnya. Jujur saja Diva masih capek setelah nunggu Marsya tadi. Dia malas sekali untuk kontrol.
            Selesai kontrol diva langsung menuju ke taman dekat rumah sakit tersebut. Disana memang disediakan arena khusus anak. Ada 3 ayunan dan 2 tempat duduk disana. Diva senang sekali bermain ayunan sambil menghirup udara segar sore hari. Tiba-tiba ada suara anak kecil yang memakai kursi roda sedang menangis. Kasihan sekali anak itu, masih kecil sudah memakai kursi roda. Alhamdulillah Allah masih memberikan kesempatan untuk Diva hingga masih bisa berjalan Batin Diva yang mulai bersimpati kepada anak itu sampai ia baru tersadar kalau Papa lama sekali. Karena sudah tidak tahan menunggu, Diva putuskan untuk mencari Papa di ruang Dokter.
            “Baiklah dokter, akan saya coba bicara dengannya baik-baik.”
            “Baik Pak. Semoga kanker di perutnya dapat cepat menyusut.”
            “Amiin, terimakasih dokter.”
Kanker? Siapa yang terkena kanker? Pertanyaan itu menyelimuti benak Diva ketika ia mendengarkan pembicaraan Papa dengan Dokter Rafli. Tadinya Diva ingin masuk ke ruangan dokter. Namun tidak jadi setelah mendengar pembicaraan tadi.
Kreek
Tiba-tiba ada suara pintu yang terseret membuka pintu ruang dokter. Suara tersebut berhasil membuyarkan lamunan Diva tentang pembicaraan tadi.
“Di..diva? Ka..kamu disini nak?” kata Papa terbata-bata
“Iya Pa. Ayo pulang. Diva capek sekali hari ini.” Kata Diva manja. Ia mencoba menyembunyikan apa yang didengarnya tadi. Papa dan Diva langsung menuju ke tempat parkir untuk pulang. Selama jalan menuju tempat parkir benak Diva masih terpikirkan tentang pembicaraan Papa tadi.
Suasana jalan yang ramai membuat Diva semakin ragu untuk menanyakan hal tersebut. Namun demi kebaikannya Diva mencoba memberanikan diri.
“Pa.”
“Nak.” Suara mereka bersamaan. Diva bimbang ia harus menanyakannya atau tidak. Atau justru suara Papa tadi pertanda untuk memberitahu hal tersebut?
“Kenapa sayang?”
“Tidak, Papa dulu saja. Pertanyaan Diva nggak penting kok.” Jawab Diva sedikit berbohong.
“Baiklah. Sebenarnya ada yang ingin Papa bicarakan.” Jantung Diva berdegup kencang. Ingin sekali telinganya tak dapat mendengar apa yang akan dikatakan Papa.
“Sebetulnya arti kamu kontrol selama ini karena ada sesuatu di perut mu, sayang.” Lanjut Papa.
“Selama ini papa selalu mengira perutmu yang besar karena nafsu makanmu yang akhir-akhir ini meningkat. Ternyata dugaan Papa salah. Ada infeksi cukup besar di usus besarmu nak, sampai kata dokter tadi kamu..ka..kamu mengidap penyakit kanker usus besar..”
Dunia Diva seakan-akan berhenti. Nafasnya sesak. Tenggorokannya kering hingga suaranya tercekat tak ingin bicara. Kenapa Papa harus merahasiakannya? Kenapa sesuatu yang seharusnya adalah hak anaknya sendiri justru disembunyikan? 
“Ke..kenapa Papa nggak pernah bilang ini semua ke Diva pa?” perlahan isak tangis Diva terdengar. Sakit sekali rasanya dibohongi. Tepatnya tidak diberi tahu sesuatu yang seharusnya telah menjadi haknya. Semula, Diva mengira semua ini hanya sakit biasa. Tapi ternyata ini lebih dari apa yang Diva bayangkan.
“Maafkan Papa sayang, Papa hanya tidak mau kalau kamu terus terbebani. Papa rasa cukup kamu menangis karena meninggalnya Mamamu dulu.”
“Ta..tapi ini penting bu..at Diva, Pa.. Diva nggak mau sa..kit Pa, nggak mau.., ”
“Cukup, kamu nggak boleh nangis, kamu kuat Diva, Papa yakin itu. Ini hanya masalah kecil yang diberikan Allah, sayang. Disana masih banyak orang yang lebih menderita. Balaslah masalah ini dengan senyuman. Kamu mau janji sama Papa kan?”
“Iya Pa, Diva janji” ucap Diva sembari menghapus air matanya yang tersisa.

                                                            ***

Pagi ini Diva tak bersemangat untuk sekolah. Malas sekali rasanya. Tapi tiba-tiba ia teringat pesan Papa. Ia sudah berjanji untuk melawan masalahnya dengan senyuman. Ya, ia telah berjanji.
Hari ini harus penuh dengan senyuman, aku janji! Ucap Diva dalam hati ketika memasuki gerbang sekolah. Semua anak terburu-buru masuk gerbang 5 detik sesudah bel. Termasuk Diva.
Di kelas sosok Marsya belum terlihat. Padahal biasanya ia selalu sampai ke sekolah 10 menit sebelum bel. Dan ini sudah 5 menit lewat dari bel berbunyi.
“Selamat pagi anak-anak. Lho kok tempat duduk Marsya kosong? Ada yang tau Marsya kemana? Mungkin kamu tau, Diva?”
“Enggak bu. Dari tadi saya belum melihat Marsya, mungkin dia lagi sakit.”
“Halaah, paling nggak masuk juga gara-gara udah nggak betah sama temennya yang kaya gajah itu!” lagi-lagi ejekan dari Naomi menyambar Diva.
“Hush, Naomi. Tidak baik berbicara seperti itu. Setiap orang diciptakan berbeda-beda oleh-Nya. Dan tugas kita adalah dapat menghargai perbedaan tersebut. Tidak mengolok-olok seperti itu. Paham?”
“Paham Bu..” jawab Naomi dengan nada tak serius.
            Diva merasa sangat kesepian selama pelajaran. Tidak ada Marsya tidak ada yang membela dia hari itu. Untung tadi Bu Ira sempat membelanya. Kalau tidak mungkin hanya tambah menyakiti hatinya saja. Jika hari ini Marsya masuk, Diva ingin sekali menceritakan semua yang terjadi kemarin. Hanya Marsya satu-satunya teman curhat Diva yang paling dapat memahaminya.
            Entah mengapa ia mulai memikirkan tentang penyakitnya lagi. Ia tak habis pikir kenapa semua terjadi padanya. Apa Allah tak adil? Tidak! Allah adil. Mungkin ini hanya untuk menguji keimanan Diva agar ia lebih bertaqwa kepadaNya.
           
            Pelajaran hari ini diakhiri pukulk 10.00 karena ada rapat guru di sekolahnya. Diva tak ingin buru-buru untuk pulang. Untuk apa pulang jika dirumah nanti tidak ada aktifitas juga?
            “Heh gajah! Bukannya kemarin aku sudah bilang kalau jangan pernah memenuhi jalan di depan gerbang sekolah?” kata Naomi yang ternyata sudah ada di belakang Diva sejak tadi.
            “Eh, em, maaf Naomi. Aku nggak tau. Tapi bukannya tadi sebelahku masih bisa buat lewat?”
            “Udah deh nggak usah alesan. Aku udah capek disini, mau pulang. O iya, dijaga ya perut besarnya. Sekali-kali diet dong! Byee..”
            Belum pernah Diva mendengar ejekan Naomi sesakit ini. Ingin rasanya Diva menangis. Sekuat mungkin ia menahan kesedihannya. Tapi tidak bisa. Perlahan air matanya menetes. Diva pikir, ia tak akan bisa pulang dengan menangis seperti ini. Maka ia putuskan untuk ke taman hari itu.
           
Taman sepi sekali. Hanya ada 2-3 anak yang bermain-main air disana. Diva mencari tempat duduk kosong untuknya. Air matanya terus mengalir tak berhenti. Semakin ia mencoba untuk menahannya, semakin kuat air matanya mengalir. Ia tak tau harus berbuat apalagi selain untuk melampiaskan rasa kesalnya dengan menangis.
“Maafkan aku, Pa. Hari ini Diva belum bisa seutuhnya untuk tersenyum.” Ucap Diva dengan pelan. Dulu sebelum Diva sakit, ia dan Marsya sering sekali bermain di taman ini, sehingga nggak sepi banget seperti sekarang. Tapi hanya karena penyakitnya ini ia jadi tak pernah mengajak Marsya kesini. Ia rindu sekali bermain dengan Marsya di taman ini.
Oke. Kembali lagi ke permasalahan.
Diva kembali merasuk ke dalam kesedihannya. Andai Naomi sadar kalau perut besarnya bukan disembuhkan dengan diet. Tapi lebih dari itu.
“Andai sa..saja Naomi tau, ini rasanya sakiiit sekali. Bukan seperti yang kamu kira. Ini bukan masalah diet atau apapun yang kamu ucap, Naomi. Andai kamu tau, bahwa perut besarku ini adalah kanker, andai kamu tau..” lanjut Diva dengan suara pelannya seolah-olah ia berbicara dengan Naomi. Isak tangisnya semakin kuat.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Diva harus segera pulang. Buru-buru dia ambil tissue dari kantongnya dan menghapus air matanya dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar tak ingin membuat satu orangpun tau kalau hari ini dia telah menangis sekuat ini.
Setelah memastikan tangisannya pudar, ia segera menaiki sepedanya untuk pulang. Sekali lagi maafkan Diva, Pa. Hari ini Diva belum bisa menepati janji Diva. Ucap Diva dalam hati. Rasanya ingin menangis sekali lagi, namun ia rasa sudah cuup untuk hari ini. Ia telah terlalu kuat untuk mempertahankan rasa tangisnya.

“Assalamualaikum, Pa.”
“Waalaikumsalam. Baru pulang? Tadi mamanya Marsya telepon.”
“Bilang apa saja?”
“Enggak kok, cuma nanyain PR hari ini. Katanya hari ini pulang jam 10.00 karena ada rapat guru. Tapi kamu kok baru pulang? Terus itu wajahmu kok sebam nak?”
“Ooh. Nanti biar ku hubungi sendiri. Diva capek, mau tidur.” Jawab Diva dengan datar. Ia betul-betul capek hari itu. Ia ingin segera tidur dan tentunya segera melupakan apa yang hari ini telah terjadi.
Di kamar ia mengunci pintunya rapat-rapat dan didepannya telah tertulis “Jangan ganggu!” yang sebenarnya hanya ditujukan untuk Papa. Diva bosan sekali dengan ingin taunya Papa terhadapnya.
Diva baru teringat untuk memberi tau Marsya tentang PR hari ini. Ia langsung menyambar handphonenya dan menuliskan pesan singkat untuk Marsya. Biasanya setelah di-SMS Marsya langsung bales, tapi tidak untuk kali ini. Jadi Diva putuskan untuk mendengarkan lagu untuk menghilangkan kesedihannya. Dia juga sudah lama meninggalkan dunia musiknya.

Seperti ku terbang dilangit tinggi
Temui satu titik cahayaMu
Kulihat ada malaikat kecilMu
Membisikkanku tuk tetap disini
Ku tersimpuh
Nilai cinta dengan kasihMu
Fatin Shidqia – Cahaya di Langit Itu (OST. 99 Cahaya di Langit Eropa)

            Entah mengapa setelah mendengarkan music mendadak rasanya Diva rindu seseorang. Satu tetes air mata lagi-lagi membasahi pipinya. Kali ini bukan karena Naomi. Jika kamu menebak karena penyakitnya, itu salah juga. Kali ini ia baru benar-benar rindu dengan Mama. Ya, Mama yang setiap sedih menemaninya. Mama yang dari kecil merawatnya. Ketika Mama pergi kemanapun Diva selalu ikut, tapi perginya kali ini tak bisa diikutinya. Dia benar-benar kangen Mama.
            Gerimis turun perlahan. Udara luar dingin sekali. Diva masih masuk dalam kesedihannya. Malam ini ia hanya di kamar. Menikmati kesedihannya yang tak kunjung usai dan tak tau kapan akan selesai. Hingga ia terlelap.
                                                            ***
            “Diva..,” Tiba-tiba Naomi datang menepuk ringan pundak Diva.
            “Ya, Naomi?” Tanya Diva sedikit heran.
            “Aku boleh duduk disini kan?”
            “Oh, silahkan.” Tidak biasa Naomi bersama Diva ketika istirahat. lagi pula teman-temannya juga lengkap hadir hari ini. Harusnya dia sudah megolok-olok Diva yang kesepian karena Marsya yang hari ini tidak masuk lagi.
            “A..aku boleh bi..bicara sesuatu?”
            “Kenapa harus izin? Bicarakan saja.” Jawab Diva selagi tersenyum.
            “Aku ingin minta maaf.” Kata Naomi dengan nada menyesal yang sontak mengagetkan Diva.
            “Sebenernya kemarin habis pulang sekolah aku ngikutin kamu Div. aku udah tau semuanya.” Lanjut Naomi.
            “Maksud kamu apa sih?”
            “Iya, kemarin aku liat kamu nangis dan bicara tentang penyakitmu. Aku denger semuanya. A..aku nyesel Div. Ak..aku mi..minta maaf.” Ucap Naomi disela-sela isak tangisnya.
            “Nggak ada yang salah, Naomi. Aku sudah memaafkanmu kok.” Jawab Diva dengan tenang.
            “Jadii, mulai sekarang kita sahabatan?”
            “Ya, sahabat.” Jawab Diva Mantap.
            “Hei! Berduaan aja!” Tiba-tiba ada orang yang mengagetkan Diva dan Naomi dari belakang.
            “Marsya!?” jawab Diva dan Naomi bersamaan.
            “Kok kamu bisa ada disini? Bukannya kamu sakit?” Tanya Diva.
            “Haha, udah sembuh kok. Tapi aku masuk sekolah tiap jam istirahat. soalnya pagi harus cek ke dokter dulu. Ngomong-ngomong kok Naomi ada disini?” Tanya Marsya keheranan. Sepertinya Marsya tak terima kalau Naomi bersama Diva.
            “Iya, sekarang kita punya sahabat baru nih Sya.” Jawab Diva.
            “Maksud kamu, Naomi taubat Div?”
            “Haha, ya gitu deh.”
            “Iya, boleh kan aku jadi sahabat kalian? Itung-itung sebagai tanda maafku.” Ucap Naomi melanjutkan pembicaraan Diva.
            “Boleh gak ya? Hahaha, ya boleh lah!” Ucap Marsya dengan mantap pula. Sontak mereka bertiga tergelak.
            “Tapi janji ya, sekarang nggak ngolok-olok Diva gajah lagi?” Ucap Marsya ragu.
            “Enggak deh. Gajahnya ternyata cantik plus baik banget sih. Jadi seneng punya sahabat kaya gajah cantikku inii..” jawab Naomi sambil menyenggol pundak Diva.
            “Hahaha, bisa saja kamu Naomi.” Ucap Diva sambil tertawa.

            Sejak hari itu janjinya kepada Papa ditepati Diva. Ia akan selalu tersenyum. Ada dua sahabat yang selalu menghiburnya, ada dua kakak yang selalu menemaninya, meskipun tak lengkap dua orang tua yang ada disampingnya.

1/10/2014

Daging Putih

badan kecil muda itu menghinaku lagi
kini tak bisa aku melawan
sakit lagi sakit lagi
biarlah aku pamit keluar saja
agar butir butir amarah menjadi tak betah
seketika paku tajam datang
seakan menjemput untuk keluar
merobek kecil kaki hingga berdarah
terbelalak mata melihat tumpah darah yang menggumpal
tak dapat berhenti
siapapun bantu aku!
siapapun bantu aku!
sakiit, padahal hanya robekan kecil
bulat mata membesar
jari kecil kaki yang terbengkang
terlihat putih daging disana
seperti daging ikan
ingin kumakan saja diriku

Tanpa Teori

Otak kaku dingin hampir terpecah
mulut besar yang selalu tayang
tak akan membuatnya ingin terbayang
tak membuatnya patah semangat
tak membuat hatinya lepas
karena hati mereka berindra
seakan mata yang terus mengawasi
seakan dapat membedakan rahasiaNya
karena hatinya terbuka
meski kaku merambat ingin tau
meraba hati lemah hampir tak kokoh
namun mereka tetap teguh
mempertahankan imaji tak dimengerti
bahkan tanpa teori