CERNAK
“Gajah” Itu Sahabat
Kami!
Oleh:
Safina Arin Nabila
Namanya
Diva Nur Saputri. Panggil saja Diva. Siswa merah-putih asal SDN 05 Malang ini
memiliki wajah yang cantik, dia juga ramah. Badannya gemuk sekali, namun dia
tetap PD dengan pemberian Allah itu. Dikelasnya dia tidak pernah keluar dari
jajaran 5 besar, itu sebabnya ia selalu menjadi kebanggaan keluarga terutama
Papa. Papa sangat sayang kepada Diva, bahkan kadang membuat Kak Dina iri juga
dengan Diva.
Dia punya 2 kakak dan merupakan anak
terakhir. Kakaknya yang pertama biasa dipanggil Kak Dera. Kak Dera senang
sekali mendengarkan musik terutama musik barat. Sekarang dia bersekolah di
salah satu SMA favorit di Malang.
Begitu
pula dengan Kak Dina yang menduduki bangku SMP. Kalau Kak Dera senang mendengarkan
musik, beda lagi dengan Kak Dina. Dia suka dengan apapun yang berhubungan
dengan doraemon. Ralat. Bukan hanya suka. Bahkan super duper tripel suka dengan
doraemon. Mulai dari pintu kamarnya yang penuh dengan stiker doraemon, buku,
tas, baju, komik dan masih banyak lagi. Bahkan Kak Dina tidak akan pernah mau
tidur apabila bedcover kamarnya bukan doraemon. Sulit dipercaya bukan?
Ada yang unik dari keluarga Diva.
Setiap anggota keluarga memiliki nama berawalan huruf D. Diva suka sekali
menyanyi. Ia ingin sekali menjadi
penyanyi seperti Fatin Shidqia, idolanya. Dia mengikuti les bernyanyi di Simphony
School Of Music.
Namun,
akhir-akhir ini Diva jarang mengikuti les karena setiap 2 minggu sekali ia
harus pergi ke dokter untuk kontrol kesehatannya. Ia tak tahu pasti apa yang
dideritanya. Namun perutnya sering sekali nyeri dan kata dokter harus rajin kontrol
jika tidak akan menimbulkan sesuatu yang fatal. Papa tidak pernah
memberitahunya tentang kejadian ini. Namun, Diva juga tak begitu ingin tahu
dengan apa yang dideritanya. Mungkin karena Papa yang selalu mengalihkan
pembicaraan ketika Diva menanyakan tentang hal itu.
Sebetulnya, Diva tidak suka berada di Malang
seperti tempat tinggalnya sekarang. Dia lebih suka berada di Jogja, tempat
kelahirannya. Di Jogja dia lebih leluasa dalam berteman. Tidak seperti di
Malang. Susah mencai teman disini. Ya mungkin karena beda daerah yang membuat teman-temannya
enggan untuk bergaul dengan Diva. Diva pindah ke malang semenjak umur 9 tahun.
Ketika itu nasib berkata lain…
Sore itu hujan turun sangat deras.
Entah mengapa firasat Diva sangat tidak enak. Dia ingin sekali liburan ini
dibatalkan saja. Ingin sekali. Tapi Diva tidak pernah berani untuk bicara
kepada Papa atas perasaaannya ini. Ia takut Papa akan kecewa atau malah
memarahi Diva karena imajinasinya yang terlalu tinggi.
Waktu itu Papa menyetir mobil dan
Mama duduk di sebelahnya. Diva duduk di tengah bersama Kak Dina. Sedangkan Kak
Dera tiduran di belakang mobil. Jalanan waktu itu sangat macet. Suara klakson
mobil terdengar dari mana saja. Jalan juga sangat licin. Membuat perasaan Diva
semakin tak menentu. Perasaan bimbang masih menyelimuti hatinya seakan dingin
sekali. Kak Dina sedang membaca komik doraemonnya. Tidak mungkin Diva akan
menceritakan kegalauannya ketika Kak Dina jika sedang membaca komik. Apalagi
doraemon. Bisa-bisa Diva malah kena omelan.
Kini mata Diva mulai berair. Ia
ingin sekali menangis. Ia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya. Namun
nyalinya juga tidak bertambah. Justru Diva semakin takut ketika ia memberanikan
diri untuk bicara. Suaranya tercekat ketika kurang satu langkah untuk bercerita
pada Papa.
“Diva kok nangis? Kenapa sayang?”
Mama tiba-tiba menoleh kebelakang. Diva tak tau harus menjawab apa.
“Pe..Perasaan Diva nggak enak Ma.”
Jawab Diva terbata-bata.
“Sudahlah tidak apa-apa, sayang.
Mungkin perjalanan jauh yang membuatmu berfikir aneh-aneh.” Diva sudah menebak. Pasti itu jawaban Mama.
Setidaknya Mama sudah tau apa yang dirasakannya, itu sudah cukup membuatnya
tenang.
Tiba-tiba ada suara benturan keras
sekali. Ada jeritan suara yang familiar juga ditelinga Diva. Banyak sekali
orang. Diva bingung harus berbuat apa. Apa yang dilihatnya sangat suram.
Terakhir kali dia melihat wanita dengan kerudung biru tua yang serasi dengan
baju yang dikenakannya. Namun, ada cairan merah banyak sekali sampai warna biru
bajunya hampir tak kelihatan.
“Hei! Kok ngelamun sih? Nggak baik
lho.” Tiba-tiba Papa dating membuyarkan lamunan Diva. Entah dari mana datangnya
Papa yang jelas telah membuat Diva sangat terkejut.
“Di..diva keinget almarhumah Mama
lagi Pa. Kalo sekarang Mama masih ada mesti Diva nggak sesepi sekarang..”
“Kamu nggak pengen sarapan dulu? Ada
soup brokoli kesukaanmu tuh.” kata Papa. Diva tau maksud Papa untuk mengalihkan
pembicaraan ini seakan mengode ‘sudah - jangan - pikirkan - itu - lagi’
“Enggak pa, udah jam setengah 7 nih.
Diva berangkat dulu ya Pa. Assalamualaikum.” Jawab Diva terburu-buru.
Diva segera mengeluarkan sepeda dan
meluncur ke sekolah dengan sangat cepat. Jarak dari rumah ke sekolahnya 2KM.
kira-kira hanya 10 menit dari rumah. Meski begitu, Diva sering sekali
terlambat. Entah itu karena terlalu asyik bernyanyi di kamar mandi, kesiangan,
atau karena lupa mengerjakan PR waktu malam hari.
“Halo
Marsya!” ucapku sedikit keras untuk mengagetkan Marsya, teman sebangkuku.
Disekolahnya yang sekarang Diva hanya dekat dengan Marsya. Setiap ia dekat
dengan orang lain, pasti ada saja yang menyakiti hatinya.
“Hei. Udah jam berapa nih? Telat mulu,” gerutu
Marsya.
“Haha,
kaya nggak ngerti aku aja.” Marsya selalu menanyakan itu di setiap pagi. Sangat
amat membosankan memang. Meskipun lugu, marsya sebenarnya memiliki ide-ide yang
tak pernah kau duga. Dia suka sekali menggambar tiap apa yang dilihatnya.
Marsya juga senang sekali membuat puisi. Sering sekali puisi-puisinya dipajang
di mading sekolah. Tak jarang juga dimuat dalam Koran.
Pelajaran
pertama IPA. Diva suka sekali dengan pelajaran IPA. Hampir setiap ulangannya
mendapatkan nilai diatas 90.
“Selamat
Pagi anak-anak. Siapkan selembar kertas ulangan. Hari ini akan Ibu adakan
ulangan dadakan untuk menguji kepahaman kalian mengenai materi minggu kemarin.”
“Yaah
Bu, kan 2 minggu yang lalu sudah ulangan. Masa’ mau ulangan lagi?” kata Stefan
dengan berani. Dia murid paling ceroboh di kelas 5. Dalam satu hari dia bisa
berulah lebih dari 2 kali. Orang tuanya ada hubungan kerja dengan Papa Diva.
Jadi Diva cukup tau tentang diri Stefan.
“Tidak
apa-apa, Stefan. Kalau kemarin kamu memperhatikan Ibu yakin pasti bisa.” Jawab
Bu Imah dengan gayanya yang lemah lembut.
***
Kriing Kriing
Semua siswa bersorakan keluar kelas
begitu mendengar bel tanda mengakhiri pelajaran berbunyi. Pelajaran sebelum
pulang adalah matematika. Hampir satu kelas benci dengan matematika. Maka dari
itu setiap pelajaran matematika berakhir rasanya seperti ketika penjajah telah
keluar dari Indonesia. Merdeka banget rasanya.
“Kamu mau langsung pulang?” Tanya
Marsya ketika sampai di depan pagar sekolah. Rumah Marsya cukup jauh dari
sekolah. Maka dari itu dia tidak pernah naik sepeda ke sekolah. Walau
sebenarnya ingin sekali bisa berangkat sekolah dengan naik sepeda, namun tentu
saja tidak akan pernah dibolehkan kedua orang tuanya.
“Iya, emangnya kenapa?”
“Hari ini Mamaku jemput rada telat.
Ada pesanan banyak katanya” Jawab Marsya dengan nada tak bersemangat. Mamanya
memiliki usaha catering di rumah.
“Ya udah aku tungguin, tapi ada
syaratnya”
“Apapun Marsya lakukan untuk Diva
yang cantik”
“Haha bisa aja kamu. Eemm, kamu
harus menjadi sahabatku selamanya. Janji?”
“Kalo itu sih gampaang, janji!”
kelingking Marsya dan Diva saling berpeluk pertanda janji mereka tak akan
dusta.
“Heii awaaaass!” tiba-tiba ada suara
teriakan orang dari belakang mereka. Sontak Diva dan Marsya langsung menepi
agar tidak tertabrak orang yang ada di belakangnya.
Tidak usah berpikir lama-lama Diva dan Marsya
sudah tau bahwa itu pasti Naomi. Satu-satunya anak blasteran Indonesia-Jepang
di sekolah. Naomi cantik sekali. Matanya tidak terlalu sipit, kulitnya putih
bersih, rambutnya bergelombang hitam kecoklatan. Ditangannya ada gelang warna
coklat yang tergantung huruf N warna putih yang tentu saja artinya Naomi.
Banyak guru disini yang mengatakan kalau Naomi mirip dengan Barbie. Tapi tidak
diragukan lagi, dia memang betul-betul mirip Barbie. Lucu sekali.
“Hei Marsya! Tolong bilang pada
temanmu itu, kalau bicara jangan ditengah jalan dong! Nggak sadar diri ya
badannya segede apa?” ejek Naomi kepada Diva. Diva sudah terbiasa dengan ejekan
dari Naomi. Diva juga tak pernah membalas perbuatan Naomi. Kata Papa, orang seperti
itu tidak perlu ditanggapi namun dijadikan motivasi saja.
“Eh kamu Naomi! Jangan seenaknya
ngejek Diva ya! Lagian lewat samping kan juga bisa, nggak perlu ngusir kita
juga kali!” bela Marsya dengan nada tinggi.
“Sudah Marsya. Aku tidak apa-apa
kok.” Ucap Diva menenangkan sahabatnya.
“Lain kali jaga gajahmu baik-baik
yaa. Dadaah” kata Naomi langsung meninggalkan tempatnya.
“Dasar tidak tau sopan santun.”
Keluh Marsya.
“Biarlah perbuatannya ditanggung
sendiri dihadapan Allah kelak. Kita cukup bersabar saja Marsya.” Kata Diva
sembari tersenyum.
“Hmm, kamu baik banget sih, terlalu
baik malah. Nggak salah deh punya sahabat kaya gajah cantikku ini.” Mereka
berdua tergelak. Marsya mulai menyebalkan.
“Haha lama-lama kamu ketularan Naomi
juga ya.”
“Haha bercanda kok.” Jawab Marsya
dengan menunjukkan dua jarinya.
***
“Assalamualaikum,
Pa.” sapaku kepada Papa setelah sampai di rumah.
“Waalaikumsalam.
Kamu kemana aja kok baru pulang? Hari ini kan kamu harus kontrol ke dokter.”
“Astagfirullah.
Maaf pa, Diva lupa. Tadi nungguin Marsya dijemput dulu kasian soalnya kalau
disuruh nunggu sendirian.” Jawab Diva dengan nada merasa bersalah.
“Ya
sudah, cepat ganti baju dan makan siang dulu. Papa tunggu di ruang tamu ya.”
“Siap
komandan!” kataku sambil sikap hormat ala polisi.
Perjalanan ke dokter kali ini membosankan
sekali. Biasanya setiap kontrol Kak Dina juga menemani namun kali ini tidak
bisa karena ada study tour di sekolahnya. Jujur saja Diva masih capek setelah
nunggu Marsya tadi. Dia malas sekali untuk kontrol.
Selesai kontrol diva langsung menuju
ke taman dekat rumah sakit tersebut. Disana memang disediakan arena khusus
anak. Ada 3 ayunan dan 2 tempat duduk disana. Diva senang sekali bermain ayunan
sambil menghirup udara segar sore hari. Tiba-tiba ada suara anak kecil yang
memakai kursi roda sedang menangis. Kasihan
sekali anak itu, masih kecil sudah memakai kursi roda. Alhamdulillah Allah
masih memberikan kesempatan untuk Diva hingga masih bisa berjalan Batin
Diva yang mulai bersimpati kepada anak itu sampai ia baru tersadar kalau Papa
lama sekali. Karena sudah tidak tahan menunggu, Diva putuskan untuk mencari
Papa di ruang Dokter.
“Baiklah dokter, akan saya coba
bicara dengannya baik-baik.”
“Baik Pak. Semoga kanker di perutnya
dapat cepat menyusut.”
“Amiin, terimakasih dokter.”
Kanker? Siapa yang
terkena kanker?
Pertanyaan itu menyelimuti benak Diva ketika ia mendengarkan pembicaraan Papa
dengan Dokter Rafli. Tadinya Diva ingin masuk ke ruangan dokter. Namun tidak
jadi setelah mendengar pembicaraan tadi.
Kreek
Tiba-tiba
ada suara pintu yang terseret membuka pintu ruang dokter. Suara tersebut
berhasil membuyarkan lamunan Diva tentang pembicaraan tadi.
“Di..diva? Ka..kamu disini nak?” kata Papa
terbata-bata
“Iya
Pa. Ayo pulang. Diva capek sekali hari ini.” Kata Diva manja. Ia mencoba
menyembunyikan apa yang didengarnya tadi. Papa dan Diva langsung menuju ke
tempat parkir untuk pulang. Selama jalan menuju tempat parkir benak Diva masih
terpikirkan tentang pembicaraan Papa tadi.
Suasana
jalan yang ramai membuat Diva semakin ragu untuk menanyakan hal tersebut. Namun
demi kebaikannya Diva mencoba memberanikan diri.
“Pa.”
“Nak.”
Suara mereka bersamaan. Diva bimbang ia harus menanyakannya atau tidak. Atau
justru suara Papa tadi pertanda untuk memberitahu hal tersebut?
“Kenapa
sayang?”
“Tidak,
Papa dulu saja. Pertanyaan Diva nggak penting kok.” Jawab Diva sedikit
berbohong.
“Baiklah.
Sebenarnya ada yang ingin Papa bicarakan.” Jantung Diva berdegup kencang. Ingin
sekali telinganya tak dapat mendengar apa yang akan dikatakan Papa.
“Sebetulnya
arti kamu kontrol selama ini karena ada sesuatu di perut mu, sayang.” Lanjut
Papa.
“Selama
ini papa selalu mengira perutmu yang besar karena nafsu makanmu yang
akhir-akhir ini meningkat. Ternyata dugaan Papa salah. Ada infeksi cukup besar
di usus besarmu nak, sampai kata dokter tadi kamu..ka..kamu mengidap penyakit
kanker usus besar..”
Dunia
Diva seakan-akan berhenti. Nafasnya sesak. Tenggorokannya kering hingga
suaranya tercekat tak ingin bicara. Kenapa Papa harus merahasiakannya? Kenapa
sesuatu yang seharusnya adalah hak anaknya sendiri justru disembunyikan?
“Ke..kenapa
Papa nggak pernah bilang ini semua ke Diva pa?” perlahan isak tangis Diva
terdengar. Sakit sekali rasanya dibohongi. Tepatnya tidak diberi tahu sesuatu
yang seharusnya telah menjadi haknya. Semula, Diva mengira semua ini hanya
sakit biasa. Tapi ternyata ini lebih dari apa yang Diva bayangkan.
“Maafkan
Papa sayang, Papa hanya tidak mau kalau kamu terus terbebani. Papa rasa cukup
kamu menangis karena meninggalnya Mamamu dulu.”
“Ta..tapi
ini penting bu..at Diva, Pa.. Diva nggak mau sa..kit Pa, nggak mau.., ”
“Cukup,
kamu nggak boleh nangis, kamu kuat Diva, Papa yakin itu. Ini hanya masalah
kecil yang diberikan Allah, sayang. Disana masih banyak orang yang lebih
menderita. Balaslah masalah ini dengan senyuman. Kamu mau janji sama Papa kan?”
“Iya
Pa, Diva janji” ucap Diva sembari menghapus air matanya yang tersisa.
***
Pagi
ini Diva tak bersemangat untuk sekolah. Malas sekali rasanya. Tapi tiba-tiba ia
teringat pesan Papa. Ia sudah berjanji untuk melawan masalahnya dengan
senyuman. Ya, ia telah berjanji.
Hari ini harus penuh
dengan senyuman, aku janji! Ucap Diva dalam hati ketika memasuki gerbang
sekolah. Semua anak terburu-buru masuk gerbang 5 detik sesudah bel. Termasuk
Diva.
Di
kelas sosok Marsya belum terlihat. Padahal biasanya ia selalu sampai ke sekolah
10 menit sebelum bel. Dan ini sudah 5 menit lewat dari bel berbunyi.
“Selamat
pagi anak-anak. Lho kok tempat duduk Marsya kosong? Ada yang tau Marsya kemana?
Mungkin kamu tau, Diva?”
“Enggak
bu. Dari tadi saya belum melihat Marsya, mungkin dia lagi sakit.”
“Halaah,
paling nggak masuk juga gara-gara udah nggak betah sama temennya yang kaya
gajah itu!” lagi-lagi ejekan dari Naomi menyambar Diva.
“Hush,
Naomi. Tidak baik berbicara seperti itu. Setiap orang diciptakan berbeda-beda
oleh-Nya. Dan tugas kita adalah dapat menghargai perbedaan tersebut. Tidak
mengolok-olok seperti itu. Paham?”
“Paham
Bu..” jawab Naomi dengan nada tak serius.
Diva merasa sangat kesepian selama
pelajaran. Tidak ada Marsya tidak ada yang membela dia hari itu. Untung tadi Bu
Ira sempat membelanya. Kalau tidak mungkin hanya tambah menyakiti hatinya saja.
Jika hari ini Marsya masuk, Diva ingin sekali menceritakan semua yang terjadi
kemarin. Hanya Marsya satu-satunya teman curhat Diva yang paling dapat
memahaminya.
Entah mengapa ia mulai memikirkan
tentang penyakitnya lagi. Ia tak habis pikir kenapa semua terjadi padanya. Apa
Allah tak adil? Tidak! Allah adil. Mungkin ini hanya untuk menguji keimanan
Diva agar ia lebih bertaqwa kepadaNya.
Pelajaran hari ini diakhiri pukulk
10.00 karena ada rapat guru di sekolahnya. Diva tak ingin buru-buru untuk
pulang. Untuk apa pulang jika dirumah nanti tidak ada aktifitas juga?
“Heh gajah! Bukannya kemarin aku
sudah bilang kalau jangan pernah memenuhi jalan di depan gerbang sekolah?” kata
Naomi yang ternyata sudah ada di belakang Diva sejak tadi.
“Eh, em, maaf Naomi. Aku nggak tau.
Tapi bukannya tadi sebelahku masih bisa buat lewat?”
“Udah deh nggak usah alesan. Aku
udah capek disini, mau pulang. O iya, dijaga ya perut besarnya. Sekali-kali
diet dong! Byee..”
Belum pernah Diva mendengar ejekan
Naomi sesakit ini. Ingin rasanya Diva menangis. Sekuat mungkin ia menahan
kesedihannya. Tapi tidak bisa. Perlahan air matanya menetes. Diva pikir, ia tak
akan bisa pulang dengan menangis seperti ini. Maka ia putuskan untuk ke taman
hari itu.
Taman
sepi sekali. Hanya ada 2-3 anak yang bermain-main air disana. Diva mencari
tempat duduk kosong untuknya. Air matanya terus mengalir tak berhenti. Semakin
ia mencoba untuk menahannya, semakin kuat air matanya mengalir. Ia tak tau
harus berbuat apalagi selain untuk melampiaskan rasa kesalnya dengan menangis.
“Maafkan
aku, Pa. Hari ini Diva belum bisa seutuhnya untuk tersenyum.” Ucap Diva dengan
pelan. Dulu sebelum Diva sakit, ia dan Marsya sering sekali bermain di taman
ini, sehingga nggak sepi banget seperti sekarang. Tapi hanya karena penyakitnya
ini ia jadi tak pernah mengajak Marsya kesini. Ia rindu sekali bermain dengan
Marsya di taman ini.
Oke.
Kembali lagi ke permasalahan.
Diva
kembali merasuk ke dalam kesedihannya. Andai Naomi sadar kalau perut besarnya
bukan disembuhkan dengan diet. Tapi lebih dari itu.
“Andai
sa..saja Naomi tau, ini rasanya sakiiit sekali. Bukan seperti yang kamu kira.
Ini bukan masalah diet atau apapun yang kamu ucap, Naomi. Andai kamu tau, bahwa
perut besarku ini adalah kanker, andai kamu tau..” lanjut Diva dengan suara
pelannya seolah-olah ia berbicara dengan Naomi. Isak tangisnya semakin kuat.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 11.30. Diva harus segera pulang. Buru-buru dia ambil
tissue dari kantongnya dan menghapus air matanya dengan sungguh-sungguh. Ia
benar-benar tak ingin membuat satu orangpun tau kalau hari ini dia telah
menangis sekuat ini.
Setelah
memastikan tangisannya pudar, ia segera menaiki sepedanya untuk pulang. Sekali lagi maafkan Diva, Pa. Hari ini Diva belum bisa menepati janji Diva. Ucap
Diva dalam hati. Rasanya ingin menangis sekali lagi, namun ia rasa sudah cuup
untuk hari ini. Ia telah terlalu kuat untuk mempertahankan rasa tangisnya.
“Assalamualaikum,
Pa.”
“Waalaikumsalam. Baru
pulang? Tadi mamanya Marsya telepon.”
“Bilang apa saja?”
“Enggak kok, cuma
nanyain PR hari ini. Katanya hari ini pulang jam 10.00 karena ada rapat guru.
Tapi kamu kok baru pulang? Terus itu wajahmu kok sebam nak?”
“Ooh. Nanti biar ku
hubungi sendiri. Diva capek, mau tidur.” Jawab Diva dengan datar. Ia
betul-betul capek hari itu. Ia ingin segera tidur dan tentunya segera melupakan
apa yang hari ini telah terjadi.
Di kamar ia mengunci
pintunya rapat-rapat dan didepannya telah tertulis “Jangan ganggu!” yang
sebenarnya hanya ditujukan untuk Papa. Diva bosan sekali dengan ingin taunya
Papa terhadapnya.
Diva baru teringat
untuk memberi tau Marsya tentang PR hari ini. Ia langsung menyambar
handphonenya dan menuliskan pesan singkat untuk Marsya. Biasanya setelah di-SMS
Marsya langsung bales, tapi tidak untuk kali ini. Jadi Diva putuskan untuk
mendengarkan lagu untuk menghilangkan kesedihannya. Dia juga sudah lama
meninggalkan dunia musiknya.
Seperti ku terbang dilangit tinggi
Temui satu titik
cahayaMu
Kulihat ada malaikat
kecilMu
Membisikkanku tuk
tetap disini
Ku tersimpuh
Nilai cinta dengan
kasihMu
Fatin Shidqia – Cahaya di Langit Itu (OST. 99 Cahaya di
Langit Eropa)
Entah mengapa setelah mendengarkan
music mendadak rasanya Diva rindu seseorang. Satu tetes air mata lagi-lagi
membasahi pipinya. Kali ini bukan karena Naomi. Jika kamu menebak karena penyakitnya,
itu salah juga. Kali ini ia baru benar-benar rindu dengan Mama. Ya, Mama yang
setiap sedih menemaninya. Mama yang dari kecil merawatnya. Ketika Mama pergi
kemanapun Diva selalu ikut, tapi perginya kali ini tak bisa diikutinya. Dia
benar-benar kangen Mama.
Gerimis turun perlahan. Udara luar
dingin sekali. Diva masih masuk dalam kesedihannya. Malam ini ia hanya di
kamar. Menikmati kesedihannya yang tak kunjung usai dan tak tau kapan akan
selesai. Hingga ia terlelap.
***
“Diva..,” Tiba-tiba Naomi datang
menepuk ringan pundak Diva.
“Ya, Naomi?” Tanya Diva sedikit
heran.
“Aku boleh duduk disini kan?”
“Oh, silahkan.” Tidak biasa Naomi
bersama Diva ketika istirahat. lagi pula teman-temannya juga lengkap hadir hari
ini. Harusnya dia sudah megolok-olok Diva yang kesepian karena Marsya yang hari
ini tidak masuk lagi.
“A..aku boleh bi..bicara sesuatu?”
“Kenapa harus izin? Bicarakan saja.”
Jawab Diva selagi tersenyum.
“Aku ingin minta maaf.” Kata Naomi
dengan nada menyesal yang sontak mengagetkan Diva.
“Sebenernya kemarin habis pulang
sekolah aku ngikutin kamu Div. aku udah tau semuanya.” Lanjut Naomi.
“Maksud kamu apa sih?”
“Iya, kemarin aku liat kamu nangis
dan bicara tentang penyakitmu. Aku denger semuanya. A..aku nyesel Div. Ak..aku
mi..minta maaf.” Ucap Naomi disela-sela isak tangisnya.
“Nggak ada yang salah, Naomi. Aku
sudah memaafkanmu kok.” Jawab Diva dengan tenang.
“Jadii, mulai sekarang kita
sahabatan?”
“Ya, sahabat.” Jawab Diva Mantap.
“Hei! Berduaan aja!” Tiba-tiba ada
orang yang mengagetkan Diva dan Naomi dari belakang.
“Marsya!?” jawab Diva dan Naomi
bersamaan.
“Kok kamu bisa ada disini? Bukannya
kamu sakit?” Tanya Diva.
“Haha, udah sembuh kok. Tapi aku
masuk sekolah tiap jam istirahat. soalnya pagi harus cek ke dokter dulu. Ngomong-ngomong
kok Naomi ada disini?” Tanya Marsya keheranan. Sepertinya Marsya tak terima
kalau Naomi bersama Diva.
“Iya, sekarang kita punya sahabat
baru nih Sya.” Jawab Diva.
“Maksud kamu, Naomi taubat Div?”
“Haha, ya gitu deh.”
“Iya, boleh kan aku jadi sahabat
kalian? Itung-itung sebagai tanda maafku.” Ucap Naomi melanjutkan pembicaraan
Diva.
“Boleh gak ya? Hahaha, ya boleh
lah!” Ucap Marsya dengan mantap pula. Sontak mereka bertiga tergelak.
“Tapi janji ya, sekarang nggak
ngolok-olok Diva gajah lagi?” Ucap Marsya ragu.
“Enggak deh. Gajahnya ternyata
cantik plus baik banget sih. Jadi seneng punya sahabat kaya gajah cantikku
inii..” jawab Naomi sambil menyenggol pundak Diva.
“Hahaha, bisa saja kamu Naomi.” Ucap
Diva sambil tertawa.
Sejak hari itu janjinya kepada Papa
ditepati Diva. Ia akan selalu tersenyum. Ada dua sahabat yang selalu
menghiburnya, ada dua kakak yang selalu menemaninya, meskipun tak lengkap dua
orang tua yang ada disampingnya.